Lembaga Perwakilan di Indonesia
- Perkembangan Badan Legislatif yang pernah ada dan berlaku di Indonesia; Volksraad berlaku 1918-1942; Komite Nasional Indonesia berlaku: 1945-1949, DPR dan Senat Republik Indonesia Serikat berlaku 19491950; DPR Sementara berlaku: 1950-1956; DPR hasil pemilihan umum 1955 berlaku 1956-1959, DPR peralihan berlaku 1959-1960; DPR Gotong-Royong Demokrasi Terpimpin berlaku 1960-1966; DPR Gotong-Royong Demokrasi Pancasila berlaku 1966-1971 dan DPR (hasil pemilu 1971).
- Real Parliamentary Control dapat dilakukan melalui 3 cara: Control of Executive, Control of Expendditure, dan Control of Taxation by Parliament. Selain itu DPR dalam susunan dan kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dart UU No. 2/1985 yang telah disempurnakan dalam UU No. 4/1999 pada Pasal 33 ayat (3) DPR untuk melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana yang dimaksud ayat (2), DPR mempunyai hak:meminta keterangan kepada Presiden,
- Selanjutnya Lembaga Perwakilan lebih lanjut diatur dalam UUD 1945 diatur dalam pasal-pasal tersendiri, namun fungsi, peran, dan kedudukan DPR melalui UUD 1945 telah dilakukan beberapa perubahan dan penyempurnaan meliputi empat tahap (amandemen). Secara umum perubahan dan penyempurnaan tersebut lebih mengedepankan peranan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat.
Perkembangan DPR sejak Indonesia merdeka
DPR-RI atau
DPR ad
alah salah satu lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan lembaga perwakilan rakyat.
alah salah satu lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan lembaga perwakilan rakyat.
Masa awal kemerdekaan (1945-1949)
Pada awal kemerdekaan,
lembaga-lembaga negara yang diamanatkan UUD 1945 belum dibentuk. Dengan
demikian, Sesuai dengan pasal 4 aturan peralihan dalam UUD 1945, dibentuklah
Komite Nasional Pusat (KNIP). Komite ini merupakan cikal bakal badan legislatif di
Indonesia.
Anggota KNIP tersebut
berjumlah 60 orang tetapi sumber yang lain menyatakan terdapat 103 anggota KNIP. KNIP sebagai MPR
sempat bersidang sebanyak 6 kali, dalam melakukan kerja DPR dibentuk Badan
Pekerja Komite Nasional Pusat, Badan Pekerja tersebut berhasil menyetujui 133
RUU disamping pengajuan mosi, resolusi, usul dan lain-lain.
Masa Republik Indonesia Serikat (1949-1950)
DPR dan Senat
Republik Indonesia Serikat (1949-1950)
Sebagai konsekuensi
diterimanya hasil Konferensi Meja Bundar (KMB), diadakan perubahan bentuk
negara kesatuan RI menjadi negara serikat.Perubahan ini dituangkan dalam
Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS).Berdasarkan Konstitusi RIS yang
menganut sistem pemerintahan parlementer, badan legislatif RIS dibagi menjadi
dua kamar, yaitu Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat.
DPR-RIS
Jumlah anggota
DPR terdiri dari 146 orang yang mewakili negara/daerah bagian dengan perincian
sebagai berikut:
- Republik Indonesia: 49 orang
- Indonesia Timur: 17 orang
- Jawa Timur: 15 orang
- Madura: 5 orang
- Pasundan: 21 orang
- Sumatera Utara: 4 orang
- Sumatera Selatan: 4 orang
- Jawa Tengah: 12 orang
- Bangka: 2 orang
- Belitung: 2 orang
- Riau: 2 orang
- Kalimantan Barat: 4 orang
- Dayak Besar: 2 orang
- Banjar: 3 orang
- Kalimantan Tenggara: 2 orang
- Kalimantan Timur: 2 orang
DPR-RIS dan
Senat bersama-sama dengan pemerintah melaksanakan pembuatan
perundang-undangan.DPR-RIS juga berwenang mengontrol pemerintah, dengan catatan
presiden tidak dapat diganggu gugat, tetapi para menteri bertanggung jawab
kepada DPR atas seluruh kebijaksanaan pemerintah, baik bersama-sama untuk
seluruhnya, maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri.
Di samping itu,
DPR-RIS juga memiliki hak menanya dan menyelidik.Dalam masa kerjanya selama
enam bulan, DPR-RIS berhasil mengesahkan tujuh undang-undang.
Senat-RIS
Keanggotaan
Senat RIS berjumlah 32 orang, yaitu masing-masing dua anggota dari tiap
negara/negara bagian. Secara keseluruhan, cara kerja Senat RIS diatur dalam
Tata Tertib Senat RIS.
Masa Dewan Perwakilan
Rakyat Sementara (1950-1956)
Pada tanggal 15
Agustus 1950, DPR dan Senat RIS menyetujui Undang-Undang Dasar Sementara Negara
Kesatuan Republik Indonesia (UUDS NKRI, UU No. 7/1850, LN No. 56/1950). UUDS
ini merupakan adopsi dari UUD RIS yang mengalami sedikit perubahan, terutama
yang berkaitan dengan perubahan bentuk negara dari negara serikat ke negara
kesatuan. Pada tanggal yang sama, DPR dan Senat RIS mengadakan rapat di mana
dibacakan piagam pernyataan terbentuknya NKRI yang bertujuan:
- Pembubaran secara resmi negara RIS yang berbentuk federasi;
- Pembentukan NKRI yang meliputi seluruh daerah Indonesia dengan UUDS yang mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus 1950.
Keanggotaan DPRS
Sesuai isi Pasal 77 UUDS, ditetapkan
jumlah anggota DPRS adalah 236 orang, yaitu 148 anggota dari DPR-RIS, 29
anggota dari Senat RIS, 46 anggota dari Badan Pekerja Komite Nasional Pusat,
dan 13 anggota dari Dewan Pertimbangan Agung.
Hubungan DPRS
dengan pemerintah
Sama halnya
dengan UUD RIS, UUDS juga menganut sistem pemerintahan parlementer.DPRS dapat
memaksa kabinet atau masing-masing menteri meletakkan jabatannya.Namun berbeda
dengan ketentuan dalam UUD RIS, UUDS memasukkan pula ketentuan bahwa presiden
dapat membubarkan DPRS, kalau DPRS dianggapnya tidak mewakili kehendak rakyat
lagi.
Hasil-hasil
pekerjaan DPRS
- menyelesaikan 167 uu dari 237 buah RUU
- 11 kali pembicaraan tentang keterangan pemerintah
- 82 buah mosi/resolusi.
- 24 usul interpelasi.
- 2 hak budget.
Masa DPR hasil pemilu 20 Maret 1956 (1956-1959)
DPR ini adalah hasil
pemilu 1956 yang jumlah anggota yang dipilih sebanyak 272 orang. Pemilu 1956
juga memilih 542 orang anggota konstituante, yang bertugas menyusun
konstitusi Indonesia yang definitif, menggantikan UUDS.
Tugas dan wewenang DPR
hasil pemilu 1955 sama dengan posisi DPRS secara keseluruhan,
karena landasan hukum yang berlaku adalah UUDS. Banyaknya jumlah fraksi di DPR
serta tidak adanya satu dua partai yang kuat, telah memberi bayangan bahwa pemerintah merupakan hasil
koalisi. Dalam masa ini terdapat 3 kabinet yaitu kabinet Burhanuddin Harahap,
kabinet Ali Sastroamidjojo, dan kabinet Djuanda.
Masa DPR Hasil Dekrit Presiden 1959 berdasarkan UUD
1945 (1959-1965)
Pada tahun 1959, Presiden Soekarno
membubarkan Konstituante dan menyatakan bahwa Indonesia kembali kepada UUD 1945
melalui Dekrit Presiden 5 Juli 2959.Jumlah anggota sebanyak
262 orang kembali aktif setelah mengangkat sumpah. Dalam DPR terdapat 19
fraksi, didominasi PNI, Masjumi, NU, dan PKI.
Dengan Penpres No. 3
tahun 1960, Presiden membubarkan DPR karena DPR hanya menyetujui 36 milyar
rupiah APBN dari 44 milyar yang diajukan. Sehubungan dengan hal tersebut,
presiden mengeluarkan Penpres No. 4 tahun 1960 yang mengatur Susunan DPR-GR.
DPR-GR beranggotakan 283
orang yang semuanya diangkat oleh Presiden dengan Keppres No. 156 tahun 1960.
Adapun salah satu kewajiban pimpinan DPR-GR adalah memberikan laporan kepada
Presiden pada waktu-waktu tertentu, yang mana menyimpang dari pasal 5, 20, 21
UUD 1945. Selama 1960-1965, DPR-GR menghasilkan 117 UU dan 26 usul pernyataan
pendapat.
Masa DPR Gotong Royong tanpa Partai Komunis
Indonesia (1965-1966)
Setelah peristiwa
G.30.S/PKI, DPR-GR membekukan sementara 62 orang anggota DPR-GR eks
PKI dan ormas-ormasnya. DPR-GR tanpa PKI dalam masa kerjanya 1 tahun, telah
mengalami 4 kali perubahan komposisi pimpinan, yaitu:
a. Periode 15 November
1965-26 Februari 1966.
b. Periode 26 Februari
1966-2 Mei 1966.
c. Periode 2 Mei 1966-16
Mei 1966.
d. Periode 17 Mei
1966-19 November 1966.
Secara hukum, kedudukan
pimpinan DPR-GR masih berstatus sebagai pembantu Presiden sepanjang Peraturan
Presiden No. 32 tahun 1964 belum dicabut.
Masa Orde Baru (1966-1999)
Berdasarkan Ketetapan
MPRS No. XX/MPRS/1966, yang kemudian dikukuhkan dalam UU
No. 10/1966, maka DPR-GR Masa Orde Baru memulai kerjanya dengan menyesuaikan
diri dari Orde Lama ke Orde Baru. Kedudukan, tugas dan wewenang DPR-GR
1966-1971 yang bertanggung jawab dan berwewenang untuk menjalankan tugas-tugas
penting negara
DPR-GR Masa
Orde Baru 1966-1971
Berdasarkan
Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966, yang kemudian dikukuhkan dalam UU No. 10/1966,
DPR-GR masa “Orde Baru” memulai kerjanya dengan menyesuaikan diri dari “Orde
Lama” ke “Orde Baru.”
Kedudukan,
tugas dan wewenang DPR-GR 1966-1971 adalah sebagai berikut:
- Bersama-sama dengan pemerintah menetapkan APBN sesuai dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 beserta penjelasannya.
- Bersama-sama dengan pemerintah membentuk UU sesuai dengan Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 21 ayat (1) dan Pasal 22 UUD 1945 beserta penjelasannya.
- Melakukan pengawasan atas tindakan-tindakan pemerintah sesuai dengan UUD 1945 dan penjelasannya, khususnya penjelasan bab 7.
DPR Hasil
Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997
Setelah
mengalami pengunduran sebanyak dua kali, pemerintahan “Orde Baru” akhirnya
berhasil menyelenggarakan Pemilu yang pertama dalam masa pemerintahannya pada
tahun 1971.Seharusnya berdasarkan Ketetapan MPRS No.XI Tahun 1966 Pemilu
diselenggarakan pada tahun 1968. Ketetapan ini diubah pada Sidang Umum MPR
1967, oleh Jenderal Soeharto, yang menggantikan Presiden Soekarno, dengan
menetapkan bahwa Pemilu akan diselenggarakan pada tahun 1971.
Menjelang
Pemilu 1971, pemerintah bersama DPR-GR menyelesaikan UU No. 15 Tahun 1969
tentang Pemilu dan UU No. 16 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD.
Dalam
hubungannya dengan pembagian kursi, cara pembagian yang digunakan dalam Pemilu
1971 berbeda dengan Pemilu 1955. Dalam Pemilu 1971, yang menggunakan UU No. 15
Tahun 1969 sebagai dasar, semua kursi terbagi habis di setiap daerah pemilihan
(sistem proporsional). Cara ini ternyata mampu menjadi mekanisme tidak langsung
untuk mengurangi jumlah partai yang meraih kursi dibandingkan penggunaan sistem
kombinasi. Sistem yang sama masih terus digunakan dalam enam kali Pemilu, yaitu
Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997.
Sejak Pemilu
1977, pemerintahan “Orde Baru” mulai menunjukkan penyelewengan demokrasi secara
jelas.Jumlah peserta Pemilu dibatasi menjadi dua partai dari satu golongan
karya (Golkar).Kedua partai itu adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan
Partai Demokrasi Indonesia (PDI).Partai-partai yang ada dipaksa melakukan
penggabungan (fusi) ke dalam dua partai tersebut.Sementara mesin-mesin politik
“Orde Baru” tergabung dalam Golkar.Hal ini diakomodasi dalam UU No. 3 Tahun
1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya. Keadaan ini berlangsung terus
dalam lima kali Pemilu, yaitu Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Dalam
setiap Pemilu tersebut, Golkar selalu keluar sebagai pemegang suara terbanyak.
Dalam masa ini,
DPR berada di bawah kontrol eksekutif. Kekuasaan presiden yang terlalu besar
dianggap telah mematikan proses demokratisasi dalam bernegara. DPR sebagai
lembaga legislatif yang diharapkan mampu menjalankan fungsi penyeimbang (checks
and balances) dalam prakteknya hanya sebagai pelengkap dan penghias
struktur ketatanegaraan yang ditujukan hanya untuk memperkuat posisi presiden
yang saat itu dipegang oleh Soeharto.
Masa reformasi (1999-sekarang)
DPR berperan sebagai
lembaga legislatif yang berfungsi untuk membuat undang-undang dan
mengawasi jalannya pelaksanaan undang-undang yang dilakukan oleh pemerintah
sebagai lembaga eksekutif.
DPR Hasil
Pemilu 1999 (1999-2004)
DPR periode
1999-2004 merupakan DPR pertama yang terpilih dalam masa “reformasi”. Setelah
jatuhnya Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 yang kemudian digantikan oleh Wakil
Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie, masyarakat terus mendesak agar Pemilu
segera dilaksanakan. Desakan untuk mempercepat Pemilu tersebut membuahkan hasil.
Pada 7 Juni
1999, atau 13 bulan masa kekuasaan Habibie, Pemilu untuk memilih anggota
legislatif kemudian dilaksanakan. Pemilu ini dilaksanakan dengan terlebih dulu
mengubah UU tentang Partai Politik (Parpol), UU Pemilihan Umum, dan UU tentang
Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD (UU Susduk), dengan tujuan mengganti
sistem Pemilu ke arah yang lebih demokratis. Hasilnya, terpilih anggota DPR
baru.
Meski UU
Pemilu, Parpol, dan Susduk sudah diganti, sistem dan susunan pemerintahan yang
digunakan masih sama sesuai dengan UUD yang berlaku yaitu UUD 1945. MPR
kemudian memilih Abdurrahman Wahid sebagai presiden dan Megawati
Soekarnoputri sebagai wakil presiden. Ada banyak kontroversi dan sejarah baru
yang mengiringi kerja DPR hasil Pemilu 1999 ini.
Pertama, untuk pertama kalinya proses pemberhentian kepala negara
dilakukan oleh DPR. Dengan dasar dugaan kasus korupsi di Badan Urusan Logistik
(oleh media massa populer sebagai “Buloggate”), presiden yang menjabat
ketika itu, Abdurrahman Wahid, diberhentikan oleh MPR atas permintaan DPR.
Dasarnya adalah Ketatapan MPR No.III Tahun 1978.Abdurrahman Wahid kemudian
digantikan oleh wakil presiden yang menjabat saat itu, Megawati Soekarnoputri.
Kedua, DPR hasil Pemilu 1999, sebagai bagian dari MPR, telah
berhasil melakukan amandemen terhadap UUD 1945 sebanyak empat kali yaitu pada
tahun 1999, (pertama), 2000 (kedua), 2001 (ketiga), dan 2002 (keempat).
Meskipun hasil dari amandemen tersebut masih dirasa belum ideal, namun ada
beberapa perubahan penting yang terjadi. Dalam soal lembaga-lembaga negara,
perubahan-perubahan penting tersebut di antaranya: lahirnya Dewan Perwakilan
Daerah (DPD), lahirnya sistem pemilihan presiden langsung, dan lahirnya
Mahkamah Konstitusi.
Ketiga, dari sisi jumlah UU yang dihasilkan, DPR periode 1999-2004
paling produktif sepanjang sejarah DPR di Indonesia dengan mengesahkan 175 RUU
menjadi UU.Meski perlu dicatat pula bahwa berdasarkan penelitian yang dilakukan
PSHK tingginya kualitas ternyata tidak sebanding dengan kualitas (Susanti, dkk,
2004).
DPR Hasil
Pemilu 2004 (2004-2009)
Amandemen terhadap UUD 1945 yang
dilakukan pada tahun 1999-2002 membawa banyak implikasi ketatanegaraan yang
kemudian diterapkan pada Pemilu tahun 2004.Beberapa perubahan tersebut yaitu
perubahan sistem pemilihan lembaga legislatif (DPR dan DPD) dan adanya presiden
yang dilakukan secara langsung oleh rakyat.
Dalam Pemilu tahun 2004 ini, mulai
dikenal secara resmi lembaga perwakilan rakyat baru yang bernama Dewan
Perwakilan Daerah (DPD).DPR merupakan representasi dari jumlah penduduk
sedangkan DPD merupakan representasi dari wilayah. Implikasi lanjutannya adalah
terjadi perubahan dalam proses legislasi di negara ini.
Idealnya, DPR dan DPD mampu bekerja
bersama-sama dalam merumuskan sebuah UU.Hanya saja karena cacatnya amandemen
yang dilakukan terhadap UUD 1945, relasi yang muncul menjadi timpang.DPR
memegang kekuasaan legislatif yang lebih besar dan DPD hanya sebagai badan yang
memberi pertimbangan kepada DPR dalam soal-soal tertentu.
Informasi lebih lengkap mengenai keanggotaan,
alat kelengkapan, dan lain-lain khusus untuk DPR periode ini, dapat ditemukan
dalam artikel lainnya dalam parlemen.net yang mengenai DPR.
Kesimpulan
Pada masa
Orde Lama DPR-RIS dan Senat bersama-sama dengan pemerintah melaksanakan
pembuatan perundang-undangan.Selain itu, dalam pasal 113-116 UUDS ditetapkan
bahwa DPR mempunyai hak menetapkan anggaran negara.Selanjutnya dalam Pasal 83
ayat (2) UUDS ditetapkan bahwa para menteri bertanggung jawab atas seluruh
kebijaksanaan pemerintah, baik bersama-sama untuk seluruhnya maupun
masing-masing untuk bagiannya sendiri.Ini berarti DPR berhak dan berkewajiban
senantiasa mengawasi segala perbuatan pemerintah.
Selanjutnya
pada masa Orde Baru kedudukan, tugas dan wewenang DPR-GR 1966-1971 adalah
bersama-sama dengan pemerintah menetapkan APBN sesuai dengan Pasal 23 ayat (1)
UUD 1945 beserta penjelasannya, bersama-sama dengan pemerintah membentuk UU
sesuai dengan Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 21 ayat (1) dan Pasal 22 UUD
1945 beserta penjelasannya, dan melakukan pengawasan atas tindakan-tindakan
pemerintah sesuai dengan UUD 1945 dan penjelasannya, khususnya penjelasan bab
7.
Selanjutnya
pada masa Reformasi mengingat Undang-Undang Dasar 1945 naskah asli lebih
menekankan pada luasnya kekuasaan eksekutif.Dimana luasnya kekuasaan tersebut
berpotensi untuk disalahgunakan.Maka dari pada itu diadakanlah amandemen
terhadap UUD1945 naskah asli.Hasil amandeman tersebut berimplikasi pada
perubahan kedudukan dan wewenang lembaga-lembaga negara.Kewenangan yang dahulunya
memusat di lembaga eksekutif sekarang didistribusikan merata baik di legislatif
maupun yudikatif.Dalam UUD 1945 hasil amandeman tersebut fungsi, wewenang
dan kedudukan DPR tertuang dalam BaB III Pasal 19 sampai Pasal 22B dimana salah
satu fungsi DPR diatur dalam Pasal 20A UUD 1945 pasal 1 yang menyatakan bahwa
“Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi
pengawasan”.
Selain itu, lembaga ini memiliki berbagai hak yaitu hak interpelasi, hak
angket, hak menyatakan pendapat, hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul
dan pendapat serta hak imunitas.Kesemua hak dan kewenangan yang diberikan
konstitusi ini diharapkan mampu menciptakan sistem kontrol dan pengawasan (chek and balances) kepada lembaga negara
lainnya dalam menjalankan tata kelola ketatanegaraan.
DPR sekarang untuk periode 1 Oktober 2009 - 1 Oktober 2014 adalah sebuah lembaga
yang keanggotaanya adalah para wakil rakyat yang terpilih dari Pemilu
2009.Untuk itu besar harapan rakyat kepada lembaga ini untuk mampu melakukan
segala tugas dan fungsinya demi terwujudnya cita-cita berbangsa dan bernegara.
0 komentar:
Posting Komentar